Ocit Abdurrosyid Siddiq
Menurut Wikipedia, cendekiawan adalah orang yang memiliki keahlian dalam suatu disiplin ilmu tertentu. Seorang cendekiawan juga bisa berarti akademisi yang bekerja sebagai profesor, guru, atau peneliti di sebuah universitas. Seorang akademisi biasanya memegang gelar tingkat lanjut atau gelar akhir, seperti gelar sarjana, magister, atau doktor. Cendekiawan independen dan intelektual publik bekerja di luar akademisi, namun boleh menerbitkan karya di jurnal akademik dan berpartisipasi dalam diskusi publik ilmiah.
Sementara menurut KBBI, cendekiawan adalah orang cerdik pandai, orang intelek, orang yang memiliki sikap hidup yang terus-menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu. Cendekiawan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luas. Cendekiawan biasanya dikenal karena kecerdikan dan kepandaiannya dalam berbagai bidang, seperti sastra, seni, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.
Mereka adalah orang-orang yang dipandang intelek atau yang kerap kali dikaitkan dengan kegiatan akademik dan pemikiran kritis. Seseorang yang disebut cendekiawan tidak hanya pandai, tapi juga terus mengembangkan kemampuan berpikirnya. Mereka senantiasa ingin menambah wawasan dan memahami hal-hal baru. Ini melibatkan pembelajaran yang tiada henti dan rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan serta isu-isu yang ada di masyarakat.
Cendekiawan juga seringkali aktif dalam melontarkan ide-ide mereka untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam atau solusi atas masalah yang ada dalam kehidupan sosial. Dalam konteks yang lebih luas, kecendekiawanan merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan cendekiawan. Ini mencakup aktivitas, sikap, dan nilai-nilai yang dijunjung oleh para cendekiawan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kecendekiawanan termasuk upaya untuk terus bertumbuh secara intelektual dan memberikan kontribusi positif kepada komunitas serta merangkul perilaku yang menjunjung tinggi pengetahuan dan pemahaman yang mendalam.
Sederhananya, cendekiawan merupakan orang yang memiliki pengetahuan -tidak mesti seorang akademisi- dan pengetahuannya itu memberikan kemanfaatan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Ketika pengetahuannya tersampaikan kepada orang lain, baik dengan cara lisan maupun tulisan. Pengetahuan ini berupa ilmu, yang dirumuskan diatas moral dan kebenaran. Cendekiawaan tidak hanya menguasai sebuah disiplin ilmu tertentu, tetapi dia juga memiliki tanggung jawab moral untuk menegakkan kebenaran.
Dalam Islam, ilmu merupakan salah satu aspek yang memungkinkan seseorang menempati posisi mulia, disamping iman, akhlak, dan seseorang yang memiliki kebermanfaatan. Disebutkan bahwa Allah SWT akan meninggikan derajat orang yang beriman dan yang berilmu. Sementara akhlak menjadikan seseorang menjadi mulia sebagaimana Nabi SAW yang memiliki mandat untuk menyempurnakan akhlak. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang keberadaannya memiliki kemanfaatan bagi orang lain.
Cendekiawan muslim adalah seorang muslim yang memiliki pengetahuan berupa disiplin ilmu tertentu, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang lainnya. Mereka yang merasa termasuk dalam kategori ini, menghimpun diri dalam sebuah organisasi bernama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau ICMI. Selain memiliki pengetahuan tertentu, anggota ICMI juga memiliki tanggung-jawab moral dan tanggung-jawab sosial untuk turut memberikan kontribusi pemikirannya bagi peningkatan kualitas kehidupan umat manusia.
Salah satu yang mesti menjadi perhatian para cendekiawan muslim adalah persoalan politik. Perkara politik ini menyangkut hajat hidup seluruh masyarakat. Sehingga para cendekiawan muslim mesti merasa terpanggil dan turun-tangan untuk turut merumuskan dan mengarahkan. Karena ketika mereka tidak peduli dan kurang perhatian terhadap politik, maka bisa jadi sebagaimana kata Sayyidina Ali bahwa “Kezaliman akan terus ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena berdiam dirinya orang-orang baik”.
Dalam sistem demokrasi di mana mekanisme memilih calon pemimpin dan calon wakil rakyat dilakukan dengan pemungutan suara, yang memungkinkan peraih suara terbanyak menjadi yang terpilih, terlepas apakah yang bersangkutan berkualitas atau tidak, melahirkan kompetisi atau persaingan yang sekalipun diatur aturan mainnya dalam bentuk undang-undang dan peraturan turunannya, kerap memunculkan cara-cara yang tidak fair. Sengketa dan banyaknya laporan pelanggaran menjadi buktinya.
Kompetisi dengan cara meraih sebanyak-banyaknya dukungan dari pemilih yang disertai dengan beberapa larangan dalam rangka meraih dukungan tersebut, adalah sebagai cara agar kompetisi berjalan dengan fair dan sehat. Misalnya dengan tidak melakukan ujaran kebencian, politisasi suku, agama, ras, dan golongan, penyebaran kabar bohong, serta praktik politik uang yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pilihan pemilih.
Ketika para politisi yang didorong oleh syahwat untuk meraih kekuasaan dengan beragam cara itu -termasuk hal-hal yang terlarang tersebut- maka disinilah peran para cendekiawan muslim diperlukan. Cendekiawan muslim mesti turun gunung untuk memberikan pencerahan kepada khalayak akan pentingnya politik adiluhung. Yaitu politik yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.
Dengan kepakaran yang dimilikinya, cendekiawan muslim menempati posisi sebagai tim infanteri yang membuka jalan pikiran pemilih yang kemudian menjatuhkan pilihannya kepada calon wakil rakyat dan calon pemimpin yang menurut mereka layak dipilih. Cendekiawan muslim juga bisa berperan sebagai pembisik bagi para peserta untuk senantiasa mengikuti kompetisi sesuai dengan aturan.
Sebaliknya, ketika seseorang merasa menjadi cendekiawan muslim semata karena terhimpun dalam organisasi dengan nama cendekiawan namun tidak menunjukkan karakteristik kecendekiaan dan itu bukan perkara pengetahuan, ilmu, dan kemampuan saja, tetapi juga meliputi sikap, adab, dan akhlak, maka bisa jadi benar kata William Shakespeare, bahwa apalah arti sebuah nama. Cendekiawan yang mestinya menjadi penerang bagi umat, malah berlaku sebaliknya. Misalnya dengan penyesatan informasi dengan cara menyebarkan kabar bohong.
Pilkada 2024 yang akan melahirkan pemimpin untuk 5 tahun mendatang, tidak boleh lepas dari peran para cendekiawan muslim, yang bisa memberikan saran dan pertimbangannya. Termasuk saran dan pertimbangan yang bagi sebagian orang bisa jadi dianggap tidak populis karena akan menjadi penghambat baginya untuk mewujudkan impiannya. Resiko itu mesti diterima oleh cendekiawan karena mereka punya prinsip menyampaikan yang pahit walau mengandung resiko. Qulil haq walau kaana murran.
Cendekiawan muslim yang lebih memilih untuk diam dan permisif atas ketidak-beresan penyelenggaraan pesta demokrasi, baik yang dilakukan oleh peserta maupun oleh penyelenggara, misalnya tutup mata atas praktik politik uang yang dilakukan oleh peserta, atau ketidak netralan yang dilakukan oleh penyelenggara, apalagi bila sikapnya itu karena diredam oleh sejumlah rupiah, maka bukan hanya tidak pantas menyandang sebutan cendekiawan, namun lebih dari itu, dia telah melacurkan kecendekiaannya sendiri. Wallahualam.
*
Tangerang, 17 November 2024
Penulis adalah Pengurus ICMI Orwil Banten